TERIMA KASIH GURU (SWASTA)

Guru adalah sebuah profesi yang sangat mulia, bahkan sering dibaratkan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, karena peran guru tidak hanya sebagai tenaga pendidik,   tetapi juga sebagai pemegang tonggak peradaban dan kemajuan zaman. Guru adalah tokoh yang berperan aktif dalam pentransferan ilmu dan pengetahuan bagi anak didiknya untuk dijadikan bekal menghadapi masa depan. Karena tugas guru adalah membuat orang lain berkualitas, maka adalah suatu keharusaan untuk meningkat kualitas guru.
Image result for guru
Semakin lama mengajar seorang guru, maka pengalamannya semakin banyak dan kualitasnya pun lebih baik daripada guru baru yang miskin pengalaman, misal guru yang sudah mengajar berpuluh tahun dibandingkan guru yang baru mengajar satu atau dua tahun. Orang yang menjadi guru dengan sukarela juga lebih baik kinerjanya daripada yang menjadi guru karena terpaksa, seperti karena kesulitan mencari pekerjaan dan pada saat yang sama lowongan yang tersedia hanya guru. Guru dengan komitmen yang tinggi akan mengajar dengan penuh dedikasi karena dia tahu bahwa mengajar adalah sama membangun peradaban manusia, tetapi guru yang tidak memiliki komitmen akan menganggap sebagai profesi guru seperti profesi lain, untuk sekedar mendapatkan penghargaan material semata, tanpa ada kesadaran terhadap misi kemanusiaan dan membangun peradaban umat manusia.
Guru merupakan profesi yang mulia, oleh sebab itu guru berhak untuk mendapatkan penghargaan material yang layak. Ungkapan guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa jangan sampai menjadi alasan untuk tidak memberikan penghargaan materi yang layak kepada para guru. Akan tetapi pada faktanya selain guru sendiri sudah didiskriminasikan dari profesi yang lain, masih juga terjadi diskriminasi di kalangan internal guru, yaitu guru PNS di satu sisi dan guru non PNS (guru swasta dan GTT) di sisi yang lain.
Dengan adanya diskriminasi semacam itu, seakan-akan guru PNS mempunyai kualitas dan dedikasi yang jauh lebih besar daripada guru swasta dan GTT. Padahal status PNS atau bukan PNS tidak boleh dijadikan sebagai alasan untuk melakukan diskriminasi penghasilan dengan asumsi  bahwa guru PNS lebih berdedikasi dan lebih berkualitas guru non PNS.
Tidak layak diklaim bahwa guru berstatus PNS adalah lebih berdedikasi dan berkualitas daripada guru non-PNS. Terlebih lagi sudah rahasia umum bahwa untuk menjadi PNS, sering dibutuhkan biaya tambahan yang tidak sedikit karena jumlahnya dapat mencapai puluhan juta, meski hal tersebut sudah diminimalisir oleh pemerintah, tapi fakta di lapangan memang sering berbeda dengan idealisme dan harapan kita semua, dan fakta seperti itu justru membuat pertanyaan baru lagi tentang kualitas guru PNS, karena logikanya, jika memang mereka berkarakter kuat dan berkualitas tinggi, tentu mereka tidak akan “menjual diri” mereka dengan hanya beberapa puluh juta kepada oknum tertentu agar diangkat menjadi PNS dan mengorbankan prinsip-psinsip dan idealisme mereka; tentual jenis yang seperti itu adalah jenis yang tidak berkualitas yang miskin kepribadian. Tidak heran jika lebih dari 50% PNS Indonesia ternyata berkualitas rendah dan tidak efektif dan dengan produktifitas rendah.
Pada dasarnya semua guru sangat berhak mendapatkan gaji yang layak, tetapi kebijakan yang ada, seperti sertifikasi melalui portofolio justru malah menjerumuskan dunia pendidikan dan menjebak para guru ke dalam proses formalisme semu dalam peningkatan mutu. Contoh dari formalisme semu seperti itu adalah banyaknya para guru yang mengikuti seminar atau pelatihan, atau menjadi pembimbing pada bermacam kegiatan, tetapi dengan tujuan yang tidak tulus dan murni untuk meningkatkan kualitaas keilmuan dan pengalaman mereka, tetapi hanya agar mendapatkan sertifikat atau surat keterangan, sehingga mereka mendapatkan tambahan poin agar lulus sertifikasi dengan mudah. Banyaknya kasus pemalsuan sertifikat dengan tujuan agar dapat menaikkan poin untuk lulus sertifikasi sudah bukan rahasia umum lagi. Sangat disayangkan sekali apabila para guru sampai mengorbankan prinsip dan idealisme sebagai guru hanya karena ingin agar lulus sertifikasi.
Melihat fenomena seperti diatas, para guru tidak salah seratus persen apabila mereka sampai melakukan hal-hal di atas, karena mereka sebenarnya terjebak dan terpaksa melakukan hal-hal tersebut karena untuk menaikkan kesejahteraan mereka. Yang paling patut disalahkan pertama kali adalah orang-orang membuat kebijakan yang tidak adil ini. Apabila gaji guru yang sudah berstatus pegawai negeri sipil yang sudah lulus sertifikasi bisa mencapai 4-5 juta rupiah, sedangkan guru swasta masih banyak yang mendapatkan gaji dibawah 500 ribu rupiah, maka munculah kesenjangan penghasilan yang luar biasa yang berpotensi menciptakan kecemburuan intern-profesi sesama guru. Kenapa para guru yang sama-sama mengajar putra-putri Indonesia (dimanapun mereka bersekolah, baik di sekolah negeri ataupun swasta, mereka adalah tetap putra-putri Indonesia, bukankah tidak ada “warga negara yang swasta” atau “kelas dua”) dan mereka juga mempunyai tanggung jawab yang sama terhadap masa depan bangsa Indonesia, kenapa sampai harus menerima kenyataan yang berbeda.
Yang paling menyedihkan dan memprihatinkan adalah pemerintah Indonesia menganggap kenaikan gaji guru yang berstatus PNS sebagai sebuah prestasi yang patut mereka banggakan. Padahal di sisi lain mereka menutup mata terhadap sebagian guru yang lain, terutama guru swasta di daerah-daerah yang telah terbukti benar-benar mendedikasikan diri mereka untuk masa depan putra-putri bangsa. Yang lebih mengerikan lagi, pemerintah telah menetapkan jatah 75%-85% alokasi sertifikasi untuk guru berstatus PNS, dan 15%-25% untuk guru berstatus swasta. Hal ini merupakan kebijakan sangat konyol, sangat tidak beralasan, dan sangat tidak adil, dan yang jelas semakin memperlihatkan bahwa ada kesenjangan struktural terencana dan disengaja di sistem pendidikan nasional indonesia; dengan kata lain pemerintah, melalui kementerian dan dina pendidikan, telah “sengaja” menghambat guru swasta untuk mengembangkan kualitas mereka dengan mengadakan program diskriminasi seperti ini.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kebijakan pendidikan, termasuk kenaikan gaji guru, haruslah melalui proses kebijakan politik dan disahkan oleh lembaga politik terlebih dahulu, akan tetapi, yang patut disayangkan adalah kenyataan bahwa kenaikan gaji guru pada faktanya telah dipolitisasi untuk kepentingan politis populis pihak-pihak tertentu, tanpa menimbangkan rasa keadilan dan perasaan bagi para guru non-PNS. Kenaikan kesejahteraan guru menjadi bahan untuk meningkatkan popularitas pihak-pihak tertentu dari tingkat daerah hingga pusat, padahal pada kenyataannya kebijakan tersebut hanya menjadilip-sync belaka, karena ternyata guru yang yang dimaksud adalah guru PNS saja, bukan guru secara keseluruhan. Salah satu contoh dari ironisme ini adalah demo menuntut pencairan tunjangan yang sering dilakukan oleh guru GTT di berbagai daerah. Adalah luar biasa menyedihkan apabila para guru GTT sampai berdemo hanya untuk menuntut pencairan tunjangan yang besarnya tidak lebih dari 300 ribu perbulan; mereka tidak berdemo untuk meminta kenaikan gaji hingga setingkat, atau separuhnya penghasilan para guru PNS.
Betapa perih hati para guru swasta dan GTT yang mendengar kenaikan gaji saudara-saudara PNS seprofesinya yang rutin setiap tahun, dan belum lagi masih ditambah dengan fasilitas-fasilitas lain, seperti asuransi, dana pensiun, gaji ketiga belas, dan lain-lain, sedangkan para guru swasta harus menanggung beban ekonomi yang semakin berat akibat kenaikan inflansi dan kenaikan harga barang-barang yang bias terjadi sewaktu-waktu, padahal mereka memiliki pengabdian yang sama terhadap negara, sedang yang berbeda hanya “bajunya” semata; guru swasta dapat diandaikan sebagai anak tiri, sedang guru PNS adalah anak emas kesayangan pemerintah.
Misbakhul Munir S.Pd
Pendidik di Sd al Azhar Syifa Budi Solo

0 Response to "TERIMA KASIH GURU (SWASTA)"

Post a Comment